Sabtu, 22 Mei 2010

SELAMAT TINGGAL KAWAN

SELAMAT TINGGAL KAWAN

Kawan…!
Di dalam keremangan hidup ini.
Aku berjalan mencari arti kehidupan
Teringat aku padamu.
Engkau yang selalu membantuku
Dalam mencari arti kehidupan yang sebenarnya
Tapi kini..
Dirimu akan pergi…dan terlalu jauh untuk ku jangkau.
Kepergianmu sangat ku sesali
Karena ku tahu..
Setiap langkah yang kita buat adalah cerita
Setiap tawa dan canda kita adalah kenangan
Dan setiap tetes bening yang keluar dari kedua kelopak mata adalah duka
Dan kebersamaan kita adalah memori yang takan pernah terhapus dari kenangan.

Kawan…
Apakah kita masih bias seperti dulu
Membuat memori tentang jalan cerita persahabatan kita
Ataukah sebenarnya cerita ini hanya memori sesaat yang bisa dihapus
Dan akan terganti dengan cerita yang lain..???

Tapi biarlah ini akan jadi tinta emas dalam perjalanan kita
Dimana semuanya hampir berakhir
Dan ketika berakhir semuanya akan hilang seperti disapu ombak
Dan aku akan mengumpulkan kembali cerita kita suatu saat nanti
Selamat tinggal kawan……









Jk,,jejen koeswandi@yahoo.com

Perjuangan Bangsa Indonesia Dalam Mempertahankan Kemerdekaan

Dari Ancaman DisIntegrasi Bangsa Terutama Dalam Pergolakan Dan Pemberontakan
• Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun 1948
Amir Syarifuddin mengecam hasil Perjanjian Renville dan menyusun kekuatan dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dibentuk pada tanggal 26 Februari 1948 di Surakarta, Front ini menyatukan semua golongan sosialis kiri dan komunis. Kekuatan PKI makin bertambah besar setelah kedatangan Musso dari Uni Soviet. Muso menyusun doktrin PKI dengan nama �Jalan Baru� dengan dibentuknya Front Nasional, yaitu penggabungan segala kekuatan sosial, politik, dan perorangan yang berjiwa antiimperialistis dan untuk menjamin kelangsungan Front Nasional maka dibentuklah Kabinet Front Nasional yang terdiri dari PKI, Partai Sosialis, dan Partai Buruh Indonesia. Selain itu, didukung pula oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Insiden di Delanggu menjadi insiden bersenjata di kota Surakarta antara pendukung Front Demokrasi Rakyat dengan kelompok Tan Malaka yang bergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat, maupun dengan pasukan hijrah TNI. Insiden-insiden memang telah direncanakan oleh PKI yang bertujuan daerah Surakarta dijadikan daerah kacau ( wild west), sedangkan daerah Madiun dijadikan basis gerilya. Aksi PKI memuncak pada tanggal 18 September 1948 dengan ditandai para tokoh PKI mengumumkan berdirinya Soviet Republik Indonesia. Tindakan itu bertujuan untuk meruntuhkan Republik Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan ajaran komunis. Panglima Besar Jenderal Soedirman langsung mengeluarkan perintah untuk merebut Madiun kembali. Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto dari Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono dari Jawa Timur untuk memimpin penumpasan terhadap kaum pemberontak. Musso akhirnya tertembak mati, dan Amir Syarifuddin berhasil ditangkap dihutan Ngrambe, Grobogan, Purwodadi dan kemudian dihukum mati di Yogyakarta. Pemberontakan PKI di Madiun telah berhasil ditumpas, namun bangsa Indonesia masih harus menghadapi Belanda yang berusaha menegakkan kembali Pemerintahannya di Indonesia.
• Categories
o Peristiwa Rengasdengklok
o Perumusan Teks Proklamasi
o Pernyataan Proklamasi
o Sambutan Di Tingkat Pusat
o Sambutan Di Tingkat Daerah
o Penataan Kehidupan Pemerintahan Indonesia
o Munculnya Gejolak Sosial di Berbagai Daerah
o Perkembangan Keragaman Ideologi dan Partai Politik dengan Perubahan Otoritas KNIP dan Lembaga Kepresidenan pada awal kemerdekaan
o Kontribusi Daerah-Daerah di Indonesia dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
o Sentral Konflik Indonesia-Belanda di Berbagai Daerah
o Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Lanjutan Konflik Indonesia-Belanda
o Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
o Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (Apra) tanggal 23 Januari 1950
o Pemberontakan Andi Azis di Makasar
o Pemberontakan Republik Maluku (25 April 1950)
o Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta)
o Pemberontakan PKI di Madiun 1948

Perang dingin (cold war) dimulai

Perang dingin (cold war) dimulai
Konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948, pada waktu itu dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), karena PKI tidak pernah dibubarkan, dan bahkan pada Pemilihan Umum pertama di RI tahun 1954, PKI menjadi partai terkuat ke 4. Baru di zaman Orde Baru peristiwa tersebut dinamakan pemberontakan PKI.

Untuk memahami latar belakang terjadinya tragedi nasional pertama ini, harus dilihat situasi dunia pada waktu itu.

Setelah usai Perang Dunia II, dua negara yang menjadi super power, Amerika Serikat dan Uni Sovyet, membangun kubu masing-masing. Dengan pengalaman PD II, di mana sekitar 20 juta warganya tewas, Uni Sovyet tidak ingin lagi diserang secara mendadak dan berdasarkan hasil keputusan Konferensi Yalta, Februari 1945 yang membelah Eropa menjadi dua blok, Uni sovyet membuat negara-negara tetangga yang di bawah pengaruhnya, menjadi tameng. Satu persatu negara tetangganya dikuasai oleh partai komunis di negara masing-masing, yaitu Polandia, Hongaria, Rumania, Bulgaria dan terakhir Cekoslovakia (kini pecah menjadi Republik Ceko dan Republik Slovakia). Sempurna sudah pagar negara yang dibangun Uni Sovyet di Eropa. Tiongkok yang kemudian jatuh ke tangan komunis, juga merupakan tameng Uni Sovyet di bagian timur.

Di lain pihak, Amerika Serikat yang takut akan bahaya komunis, juga tidak tinggal diam dalam upaya membendung penyebaran komunisme ke seluruh dunia. Tahun 1947, pendukung komunis di Yunani dan Turki semakin kuat, sehingga sangat mengkhawatirkan Inggris dan Amerika. Dalam rapat antara pejabat Departemen Luar Negeri dengan para anggota Kongres, Wakil Menteri Luar Negeri, Dean Acheson, menyampaikan, bahwa apabila Yunani dan Turki jatuh ke tangan komunis, maka komunisme akan menjalar ke Iran dan bahkan sampai ke India. Di sinilah munculnya domino theory (teori domino). Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan terancam jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.

Pada 12 Maret 1947, Presiden Harry S. Truman meminta persetujuan Kongres untuk memberikan dana kepada Yunani dan Turki sebesar 400 juta Dollar, guna menghancurkan komunis di kedua negara tersebut. Truman menyampaikan doktrinnya, yang kemudian dikenal sebagai The Truman Doctrin (Doktrin Truman), yang menjadi pedoman politik luar negeri AS untuk 40 tahun berikutnya. Inti doktrin ini adalah policy of containment ( containment = pembendungan) atau mengisolasi Uni Sovyet secara politik dan ideologi, dan AS akan menghadang komunisme di manapun di seluruh dunia.

Pada bulan Juni 1947, AS menyusun Marshall Plan yang dirancang oleh Menteri Luar Negeri AS, George Marshall, sebagai bagian dari kebijakan untuk membendung upaya Uni Sovyet dalam mempengaruhi negara-negara Eropa yang sedang dalam kesulitan finansial. Kongres AS menyetujui dana sebesar 12 milyar Dollar untuk program Mashall Plan, di mana dalam kenyataannya hanya dikucurkan kepada negara-negara Eropa Barat dan Yugoslavia, yang tidak ikut menjadi anggota Pakta Warsawa (kubu Uni Sovyet). Sedangkan negara-negara Eropa Timur lainnya yang berada di bawah kekuasaan Uni Sovyet tidak memperoleh, bahkan menolak dana dari Marshall Plan.

Perang Dingin (cold war) telah dimulai, dan makin memanas ketika Uni Sovyet melakukan blokade atas Berlin Barat, yang berada di bawah pengawasan AS. Marshall Plan kemudian tidak terbatas kepada negara-negara Eropa, namun di seluruh dunia. AS memberikan dana kepada negara-negara yang menyatakan kesediaannya akan membasmi komunisme, termasuk kepada Pemerintah Indonesia.

Pada bulan Maret 1948, AS. Inggris, Prancis, Belgia, Luxemburg dan Belanda membentuk organisasi yang menjadi cikalbakal pakta pertahanan NATO (North Atlantic Treaty Organization), yang disahkan pada 4 April 1949. Tujuannya bukanlah untuk mempertahankan demokrasi atau free world (dunia yang merdeka) seperti yang digembar-gemborkan AS, melainkan hanya untuk menghadang ide komunisme, yang sangat menghantui para kapitalis, karena pada waktu itu, hampir semua negara-negara Eropa tersebut masih memiliki jajahan di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Inggris, Perancis, Belanda dan Belgia, yang tidak mau memberikan kemerdekaan kepada jajahan mereka. Bahkan Belanda dan Perancis dengan kekuatan militer yang besar, berusaha untuk menjajah kembali Indonesia dan Vietnam, yang telah menyatakan kemerdekaannya.

Di AS sendiri, warga kulit hitam hingga tahun 1968 belum memperoleh hak demokratisnya untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Pada 4 April 1968, Martin Luther King Jr, tokoh kulit hitam AS yang sedang memperjuangkan hak politik dan demokrasi di AS, mati ditembak oleh kelompok rasis kulit putih AS.

Pada 18 September 1947 di AS, selain diresmikannya National Security Council (Dewan Keamanan Nasional) juga diresmikan berdirinya Central Intelligence Agency –CIA (Badan Pusat Intelijen), sebagai pengganti CIG (Central Intelligence Group). Founding fathers dari CIA adalah William "Wild Bill" Donovan dan Allen Dulles, kedua orang ultra konservatif tersebut beragama Katolik Roma dan anggota dari perkumpulan rahasia "Knights of Malta" (Ksatria Malta). CIA melakukan infiltrasi, subversi, bahkan pembunuhan dan melancarkan perang gerilya di negara-negara yang terindikasi tidak mendukung AS (Lihat: The CIA- The Police State dalam http://www.ezpz.co.za/cia.htm ). Peranan perempuan dalam dinas rahasia AS sangat menonjol. Sebelum CIG, pada tahun 1942 Presiden Roosevelt mendirikan Office of Strategic Service, di mana terdapat 4.500 agen rahasia perempuan (National Women’s History Museum Exhibition on Woman Spies Opens Today, "Clandestine Women: The Untold Stories of Women in Espionage".

Documents Women's History in the Undercover World, dalam http://www.nmwh.org/news/pressmarch25.htm ).

Sepak terjang CIA dilakukan di berbagai belahan dunia, termasuk terlibat dalam penggulingan kepala negara atau kepala pemerintahan yang tidak mau tunduk kepada AS, seperti Perdana Menteri Mosadegh di Persia, Perdana Menteri Ngo Dinh Diem di Vietnam Selatan, Perdana Menteri Patrice Lumumba di Kongo, Presiden Salvador Allende (mati tertembak dalam kudeta yang disponsori oleh CIA) di Chile dan Presiden Sukarno di Indonesia. Langkah CIA bahkan sampai kepada pembunuhan kepala negara seperti Presiden Ecuador Jaime Roldos dan Presiden Panama Omar Torrijos (lihat: John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Berret-Kohler Publishers, Inc. San Francisco 2004).

Perang dingin antara AS dan Uni Sovyet menjalar ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia, di mana kedua super power bersama sekutu mereka, berusaha menarik para pemimpin Republik Indonesia ke pihak masing-masing, yang memuncak pada Madiun Affairs (peristiwa Madiun), September 1948.

Semula, AS menghindari kritik terhadap Belanda karena AS percaya, bahwa Eropa Barat harus dibangun dengan segala cara, dan apabila Eropa kehilangan jajahan mereka yang kaya, maka ini akan memperkecil kemampuan negara-negara Eropa untuk memulihkan diri. Di Belanda muncul istilah Indië verloren, rampspoed geboren (India hilang, timbul malapetaka. Sebutan Belanda untuk Indonesia adalah Indië, yaitu India). Tahun 1938, kekayaan yang dikuras dari Indonesia mencapai 16% dari pendapatan nasional Belanda. Bahkan antara 1851 – 1860, sumbangan dari Nusantara untuk pendapatan nasional Belanda mencapai sekitar 35% !

Padangan Pemerintah AS ini berdasarkan analisis CIA pada bulan September 1947. Ancaman terbesar bagi keamanan AS adalah kemungkinan runtuhnya perekonomian Eropa Barat dan akibatnya adalah makin kuatnya pengaruh komunis (McMahon, Robert J., Colonialism and Cold War: The United States and the Struggle for Indonesian Independence. London: Cornell University Press, 1981, dalam History of U.S. Diplomatic Relations in Indonesia, Lihat http://courreges.freeservers.com/indonesia.htm ).

Perhatian AS lebih ditujukan kepada kesejahteraan Belanda, sekutunya sejak Perang Dunia II, sehingga perhatian terhadap tuntutan Republik Indonesia sangat terbatas. Namun setelah terlihat, bahwa Belanda tidak dapat menguasai Indonesia kembali, dan kuatir Indonesia yang merdeka akan masuk ke kubu Uni sovyet, AS merubah politiknya terhadap Indonesia. Dinas rahasia militer AS pada 23 Desember 1947 menyatakan, bahwa AS akan kehilangan muka di seluruh Timur Jauh apabila tidak mendukung gerakan-gerakan kemerdekaan yang merupakan hak mereka:
“…the US might lose prestige throughout the Far East, if we do not adequately support legitimate independence movements. The US State Department has further considered that a settlement with the present moderate Republican leaders would preclude Communist domination of the independence movement …”
Dana dari Marshall Plan untuk Indonesia
Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti, melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Suharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis 10), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.

Bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus 1948, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, a.l. Mr. Amir Syarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.

Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Beberapa perwira TNI pendukung Pemerintah RI dan juga Ketua Mahkamah Agung Suryo (mantan Gubernur Jawa Timur) dibunuh, demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya.

Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS dan gagasannya yaitu “Domino Theory”.

Red Drive Proposal. Konflik bersenjata internal RI yang pertama.
Pada bulan Maret 1948, sebelum kembali ke Amerika, Graham bertemu dengan Sukarno untuk membicarakan kemungkinan bantuan AS kepada Republik Indonesia.

Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Sukarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam negeri, Mohamad Rum (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB).

Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui "Red Drive Proposal" (proposal pembasmian kelompok merah) yang disampaikan oleh Amerika.

Sebagai “imbalan” kesediaan Pemerintah Indonesia untuk membasmi komunisme di Indonesia, maka Indonesia pun mendapat kucuran dana sebesar 60 juta US $, yaitu bantuan untuk kepolisian RI. Namun ditekankan, bahwa bantuan tersebut tidak boleh dipergunakan untuk melawan Belanda.

Dengan bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency - CIA (lihat: Rosihan Anwar, Agen CIA yang saya kenal. Peristiwa Madiun 1948, Kompas Online, Kamis, 18 September 1997).

Kemudian disusunlah suatu skenario untuk memojokkan kelompok kiri, untuk mencari alasan penumpasan komunisme di Indonesia.

Diisukan, bahwa Sumarsono tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Pada 19 September 1948, Presiden Sukarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso atau Sukarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.

Maka muncullah tudingan adanya “provokasi” dari Pemerintah Republik, karena keputusan yang telah diambil pimpinan Republik dengan wakil-wakil AS (lihat: T.B. Simatupang, Laporan dari Banaran, Kisah pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1960, hlm. 82).

Sumarsono membantah tuduhan, bahwa pada 18 September 1948 dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND), dan telah terjadi pemberontakan PKI. Justru kebalikannya, bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari Pemerintah Pusat. Sumarsono yang kini menetap di Sidney, Australia, mengungkap hal tersebut kepada Radio Nederland dalam kunjungannya ke Belanda bulan Oktober 2002. Dia juga menyatakan, bahwa Suharto sebenarnya sangat mengetahui hal ini, namun mendiamkannya. Berikut adalah wawancara Radio Nederland dengan Sumarsono (lihat: Kolom Ibrahim Isa dalam milis Nasional):
Sumarsono: “Jadi setelah Bung Karno pidato, pidatonya itu menusuk hati Musso itu, lalu spontan dijawab sama Musso itu, ‘Ya, keadaannya jadi lain. Sebab pidatonya menggambarkan bahwa kita ini mesti dibasmi. Jadi karena itu, kita memikirkan bagaimana kita bela diri’ Jadi kami membentuk pemerintah Front Nasional Daerah. Saya dipilih sebagai gubernur militer. Lalu mulailah ada perlawanan pemerintah daerah Front Nasional Madiun terhadap usaha pemerintah pusat yang mengatakan kita melakukan pemberontakan dan mesti dibasmi.

Nah, dalam keadaan kayak begitu, Panglima besar Sudirman menyuruh Letkol Suharto, komandan resimen di Yogyakarta untuk meninjau Madiun. Dia telpon. Saya kebetulan yang menerima.

Dia bilang: ‘Ini mas, saya diutus oleh Pak Dirman untuk menjumpai mas Sumarsono.’

Oh, welcome, saya juga senang karena ini utusan Pak Sudirman supaya menyaksikan keadaan ini. Bahwa kami tidak berontak. Kami membela diri. Nah, datanglah yang namanya Letkol Suharto itu di Madiun. Sudah agak malam.

Radio Nederland [RN]: Sendiri?

Sumarsono: Sama sopirnya. Lalu saya bilang, saya senang ini dik Harto datang ke mari diutus Pak Sudirman. Tapi ini sudah malam dik Harto. Bagaimana kalau besok pagi dik Harto sama saya keliling kota, melihat keadaan di kota, bahwa kami nggak ada pemberontakan apa-apa. Dan apa yang disiar-siarkan oleh surat kabar Yogyakarta, karena itu Overste Suharto mengemukakan, ‘o surat-surat kabar di Yogyakarta ini mengatakan bendera merah-putih diturunkan, bendera palu arit Sovyet dinaikkan, pembunuhan, penangkapan massal, orang-orang baru dimasuk ke dalam penjara.’ Begitu di koran-koran. Besok kita saksikan. Nggak ada gitu dik Harto, nggak ada. Dan bagaimana dik Harto membantu kami? Kan nggak bagus ini, kita sedang hadapi Belanda, kok sekarang kita ini bertempur sendiri?”

RN: “Lalu apa tanggapan dik Harto ini?”

Sumarsono: “Waktu itu dia nanggapi dengan baik dan besok pagi bersama dengan dia kami keliling kota. Menyaksikan apa yang ditulis surat-surat kabar di Yogyakarta itu, itu nggak benar. Lalu saya ajak masuk penjara, lihat apa ada daftar orang baru yang ditangkap.”

Lalu sesudah itu saya minta sama dia: ‘dik Harto, tolong dik Harto ini nanti nyampaikan surat kami kepada Presiden Soekarno. Lalu tolong deh bikin pernyataan dik Harto supaya itu jangan sampai ada tanggapan itu seperti disiar-siarkan oleh surat kabar Yogyakarta.’ Dia berkata, ‘Baik, baik mas, tapi mas aja bikin pernyataan itu, nanti saya teken, saya tanggung jawab’.

RN: “Bapak bikin?”

Sumarsono: “Saya bikin. Bahwa keadaan di Madiun normal, tidak sebagaimana disiar-siarkan oleh surat-surat kabar di Yogyakarta. Tidak ada bendera merah-putih diturunkan, tidak ada bendera merah-palu arit dinaikkan. Di Madiun tidak ada penangkapan massal, tidak ada banjir darah. Keadaan di Madiun normal. Teken: Letkol Suharto. Dan pernyataan itu disiarkan oleh surat kabar daerah, radio Madiun. Nah, waktu dia mau pulang ke Yogya ini, dia bawa surat yang ditulis oleh Amir Syarifuddin untuk Bung Karno, supaya Bung Karno bisa turun tangan dan menyelesaikan secara baik. Karena kita masih butuh bersatu untuk melawan Belanda. Tapi kita dengar belakangan bahwa Suharto ini di Sragen ditahan oleh Siliwangi. Katanya surat itu tidak sampai kepada Presiden.”

RN: “Bagaimana dengan laporannya kepada Jenderal Sudirman?

Sumarsono: “Itu kami nggak tahu. Yang kami dengar, dia ditahan oleh Siliwangi. Tapi sebentar, terus dilepas lagi, kembali ke Yogya juga. Surat Amir itu nggak tahu ke mana.”

RN: “Tapi kemudian sejak Suharto menjadi Presiden, dia membisu tentang peristiwa Madiun?”

Sumarsono: “Tapi dia tulis juga di otobiografinya bahwa waktu peristiwa Madiun itu, dia ada di Madiun. Dia sebut ketemu sama Musso.”

Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk membantu menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung kepada kaum imperialis AS. Hal ini diungkapkan oleh dr. W. Hutagalung, yang juga pernah dibujuk oleh Amir Syarifuddin untuk ikut bergabung dengan gerakan mereka. Hutagalung menuturkan pembicaraannya dengan Amir Syarifuddin, antara dua putra Batak di Yogyakarta, yang telah saling kenal sejak di Surabaya awal tahun 40-an:
“ …Pada suatu hari, sekitar pertengahan tahun 1948, kami bertemu dan Amir Syarifuddin menceriterakan mengenai rencana gerakan mereka, kekuatan pendukungnya serta rencana pengembangan pasukan pendukungnya. Dia tentu, mengetahui peran penulis dalam pertempuran di Surabaya Oktober/November 1945 dan selama perang gerilya di Jawa Timur.

Kemudian dia mengatakan: “Bung Willy, pimpinlah pasukan kami. Saya angkat saudara menjadi Mayor Jenderal.”

Saya menjawab: “Bung Amir, kau dibohongi orang-orangmu. Pasukanmu tidak begitu kuat dan tidak betul berpengalaman. Juga tidak betul senjatanya begitu banyak. Saya mengetahui dengan jelas jumlah pasukan beserta persenjataannya dan saya dari permulaan di daerah pertempuran di Jawa Timur. Saya tidak pernah melihat pasukan yang Bung Amir sebutkan. Di rumah sakit selalu didaftar mengenai korban, dari pasukan atau laskar mana, di mana kejadiannya, luka-lukanya karena apa. Tidak pernah saya lihat di daftar-daftar rumah sakit catatan pasukan-pasukan yang Bung Amir maksud. Untuk membangun pasukan yang Bung Amir rencanakan untuk merebut kekuasaan, perlu dana yang sangat besar. Selain itu saya tidak tertarik dengan pangkat Mayor Jenderal.” (Pada waktu itu, dr. W.

Hutagalung berpangkat Kolonel. Pangkat Brigadir Jenderal belum dikenal di TNI waktu itu yang masih mengikuti sistem kepangkatan tentara Belanda, sehingga pangkat setelah Kolonel adalah Mayor Jenderal).

Saya juga mengemukakan, bahwa pergerakan sebesar itu memerlukan dana yang sangat besar, namun Amir Syarifuddin menjelaskan, bahwa ‘teman-temannya’ akan membantu menyediakan dana yang dia butuhkan. Saya ingat, bahwa Amir pernah menyatakan telah menerima uang dari Idenburg untuk membangun jaringan bawah tanah melawan tentara Jepang, dan saya duga, yang dimaksud dengan temannya itu adalah Idenburg. Bagi saya jelas, bahwa Belanda juga berada di balik gerakan Musso-Amir Syarifuddin…”

Demikian penuturan dr. W. Hutagalung.

Ketika Jepang menduduki Indonesia, Amir Syarifuddin mengakui telah menerima uang sebesar 25.000 gulden dari Dr. Idenburg untuk melakukan gerakan bawah tanah melawan Jepang. Namun sejumlah kalangan menyebutkan, bahwa melihat besarnya dana yang dikeluarkan oleh Syarifuddin, dana yang diberikan lebih dari itu, diperkirakan sebesar 50.000 gulden. Bagi Belanda, dan beberapa negara Eropa Barat, untuk melawan negara fasis seperti Jepang dan Jerman, termasuk orang-orang yang dipandang sebagai kolaborator fasis Jepang seperti Sukarno-Hatta, segala cara ditempuh, termasuk kerjasama dengan pihak sosialis dan komunis, dalam hal ini dengan Partai Komunis Indonesia dan kelompok kiri lainnya.

Ini bukanlah pertama kalinya satu negara kapitalis membantu kelompok komunis untuk menggulingkan suatu pemerintahan yang menjadi lawannya. Hal ini dilakukan oleh Kaisar Wilhelm II dari Jerman, yaitu ketika membantu Lenin pada tahun 1917 untuk mengadakan revolusi di Rusia, yang waktu itu sedang berperang melawan Jerman dalam Perang Dunia I. Dengan harapan melalui revolusi Bolsyewik di Rusia, kekuatan Rusia akan melemah, pada 16 April 1917 pihak Jerman membantu Lenin kembali dari exilnya di Swiss dengan kereta api khusus menuju Swedia, kemudian melalui Finlandia dan sampai di Rusia.

Selama Perang Dunia II di Eropa, banyak pemuda Indonesia beraliran kiri, bertempur di pihak Belanda melawan fasisme Jerman.

Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948 (Pengangkatan diumumkan melalui radio, sedangkan surat pengangkatan resmi baru diterima kemudian), serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin. Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.

Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Yasin menggambarkan peristiwa tersebut seperti situasi di Jerman, yaitu ketika pasukan Amerika Serikat dan pasukan Rusia bertemu di kota Berlin pada tahun 1945 [Wawancara dengan Komjen POL (Purn.) DR. M. Yasin, bulan Desember 1998]. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap. Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.

Catatan akhir:
Dr. W. Hutagalung menuturkan, bahwa ketika Perang Dunia II, baik di Eropa maupun di Asia kelompok kiri Indonesia menjadi sekutu Belanda melawan fasisme Jerman dan Jepang. Namun setelah Perang Dunia (PD) II usai, berkembangnya pengaruh kelompok kiri di Indonesia yang juga mendukung kemerdekaan RI membuat Pemerintah Belanda kuatir. Ketika Amerika Serikat datang dengan gagasan pembasimian komunisme di seluruh Indonesia, termasuk di Indonesia, Belanda langsung menyetujuinya dan bahkan ikut berperan dengan bermuka dua, seolah-olah membantu kelompok kiri yang adalah mantan sekutunya selama PD II, dan juga kepada Pemerintah Indonesia menawarkan “bantuan” untuk membasmi komunisme.

Sejarah mencatat, bahwa di tengah-tengah konflik bersenjata internal RI yang pecah sejak 19 September 1948, Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada 19 Desember 1948 dengan menyerbu Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu, dan menangkap seluruh pimpinan sipil RI.

Tokoh-tokoh kiri yang ditangkap, a.l. Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, diekseksi pada 20 Desember 1948 atas perintah Kolonel Gatot Subroto, karena TNI tidak mau dibebani dengan tawanan di masa perang melawan agresi militer Belanda.

PKI sendiri tidak pernah dibubarkan oleh Pemerintah RI waktu itu, dan ironisnya, selama agresi militer Belanda II, banyak pengikut kelompok kiri juga ikut bertempur di pihak Republik Indonesia melawan Belanda, yang merupakan sekutunya selama PD II.

Hal ini juga menunjukkan, bahwa di dalam politik, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada hany kepentingan masing-masing, apakah kelompok, partai atau bahkan negara.

Pembantaian Westerling I

Pembantaian Westerling I
Dalam lembaran sejarah Indonesia, Pembantaian Westerling merupakan salah satu sejarah kelam bangsa Indonesia. Pembantaian Westerling pertama terjadi pada Desember 1946 sampai Februari 1947 di Sulawesi Selatan, sementara pembantaian Westerling yang kedua atau lebih dikenal sebagai Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil ( APRA ) terjadi pada pada 23 Januari 1950 dimana segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan pasukan khusus (Korps Speciaale Troepen), masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui.

Pada Pembantaian Westerling pertama yang terjadi di Sulawesi Selatan, terbagi dalam beberapa tahap, yang pertama terjadi pada tanggal 11 Desember malam ketika Pasukan Khusus DST ( Depot Speciaale Troepen ) melakukan operasi yang dipimpin langsung oleh Westerling dengan tujuan Desa Batua. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.

Semua rakyat digiring ke desa Batua. 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.
Fase kedua dimulai, yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh". Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke Bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama "pemberontak" yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama "Standrecht" – pengadilan (dan eksekusi) di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.
Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir "pemberontak, teroris dan perampok". Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa. Dengan pola yang sama, operasi pembantaian terus berlangsung diseluruh kota-kota di Sulawesi Selatan, sehingga menimbulkan korban yang tak berdosa di kalangan rakyat sipil semakin bertambah.
Pada tahap kedua dan ketiga, 19 Desember 1946 dan 23 Desember 1946 operasi dilanjutkan di sekitar kota Makassar yaitu Polombangkeng dan Goa, dengan menimbulkan korban yang terus bertambah. Sehingga sampai saat ini tidak diketahui jumlah korban yang sebenarnya ada berapa.
Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada DK PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.
Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya "hanya" 600 orang.
Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan contra-guerilla, memperoleh ijin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.
Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.
Pembantaian Westerling II ( Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil )
Peristiwa Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil ( APRA ) adalah peristiwa yang terjadi pada23 Januari 1950 dimana segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan pasukan khusus (Depot Speciaale Troepen), masuk ke kota Bandung dan membunuh secara membabi buta semua orang berseragam TNI yang mereka temui. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.

Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal total.

Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).

Sampai meninggalnya pada tahun 1987, Raymond Westerling lolos dari jerat hukum, walapun pemerintah Indonesia terus berusaha untuk menjeratnya dengan berbagai upaya seperti melaporkan ke Dewan Keamanan PBB, tapi hal itu tidak berhasil karena campur tangan pemerintah Belanda yang selalu melindungi Westerling. Padahal dalam operasi tersebut, Westerling secara nyata telah melanggar HAM.

Nadhom Sunda Dawuhan Nabi Muhammad SAW....

NADOM SUNDA DAWUHAN NABI MUHAMMAD SAW
AYA GENEP UMAT KAWULA  NU BAKAL ASUP KA SYURGA
KAHIJINA JALMA NGORA  IBADAH TEU LALAWORA
KADUA AMAL JARIYAH  KATILUNA SHOLAT DUHA
TEU BOGA RASA MOKAHA  IBADAH TEU LALAWORA
KAOPATNA LEUNGIT HARTA  HENTEU REUWAS TEU HANJAKAL
TINIMBANG TINGGAL SHOLATNA  ATAWA TEU BERJAMAAH
KALIMANA CAI PANONAN  BANGEUT ISIN KU PANGERAN
KA GENEP GETOL RIUNGAN  DINA RIUNGAN ULAMA





Ditulis tanggal 9 oktober 2006
Pimpinan Pondok pesantren Hidayatul Aziz




Ustad Hamdan


Doa Kanggo Putra Sareung Putu
بِسمِ اللهِ الرَّحمنِ الرَّحِيمِ
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنَا فِىدُرِّ يَّتِى وَلاَتَضُرَّهُمْ وَوَفِّقْهُم لِطَاعَتِكَ وَارْزُقْنِى بِرَّهُم يَاذَالطَّوْلِ اَنَاالفَقِيْرُ وَيَاذَ الْعِزَّةِ اَنَاالحَقِيْرُ . اَللَّهُمَّ عِي الله شَاهِدِى اللهُ حَاضِرِي اللهُ نَاضِرِي اللهُ قَرِيبٌ مِنِّى . اَللَّهُمَّ إِنَّانَسأَلُكَ فَهْمً النَّبِيِّينَ وَحِفْظَ المُرْسَلِينَ . اَللَّهُمَّ أَغْنِنَابِالْعِلْمِ وَزَيِّنَابِالحِلْمِ وَاَكْرِمْنَابِالتَّقْوَى وَجَمِّلْنَابِالعَافِيَةِ وَصَلَّىاللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحبِهِ وَسَلِّم
“Ya allah Mugi ngarizkian ka zisim abdi sareng ka turunan abdi sareng ulah ngamadaratkeun gusti ka turunan badi sareng mudah-mudahan masihan taufiq pikeun ta’at ka gusti sareng mugi ngarizkian gusti kusaean ka turunan abdi, Gusti anu ngagaduhan kajembaran abdi teh fakir sareng gusti anu ngagaduhan ka gagahan abdi teh hina. Ya Allah tulungan abdi margi Allah anu nyaksian ka abdi, Allah anu hadir ka abdi, allah anu uninga ka abdi, Allah anu cakeut ka abdi. Ya Allah nyuhunkeun abdi ka gamparan kana kapahaman sapertos ka para Nabi sareng pangraksa sapertos ka para Rosul. Ya Allah mugi ngabeungharkeun gusti ka abdi kalayan ilmu sareng mugi mapaesan gusti kalayan tenang sareng mugi ngamulyakeun gusti ka abdi sadayana kalayan taqwa sareung mugi nyaekeun Gusti ka abdi sadaya kalayan sehat wal afiat. Sareng mugi masihan rohmat Allah ka dunungan abdi Nabi Muhammad SAW, ka kulawargina, ka para sohabatna kana kasalameutan.

Amin Yaa robbal alamin







Tanggal 9 Oktober 2006
Pimpinan
Pondok pesantren Hidayatul Aziz




Ustad Hamdan

Kiai Sebagai Pekerja Kebudayaan

http://islampembebasan.virtualave.net/Moeslim1.html

Kiai Sebagai Pekerja Kebudayaan

Oleh Moeslim Abdurrahman


Idealnya, pendidikan pesantren merupakan kerja kebudayaan. Artinya, tak identik dengan proses belajar-mengajar di sekolah. Sebagai kerja kebudayaan, pesantren mencakup semua ruang lingkup belajar yang lebih luas: bagaimana seorang santri mampu melakukan reproduksi kebudayaannya dalam proses zaman yang terus berubah.
Dalam perspektif pedagogis kritis, perkembangan manusia tidaklah uniform mengikuti atau identik dengan tingkat-tingkat pertumbuhan biologis. Sebab, dalam kenyataannya, perkembangan manusia lebih ditentukan oleh interaksinya dengan kondisi sosial dan kesadaran setiap individu yang selalu dibentuk, melalui bagaimana hubungan sosialnya dengan orang lain.
Hal ini berarti, kesadaran setiap manusia terletak pada posisinya sebagai agen sosial yang selalu secara konsisten melakukan perjuangan, bagaimana memenangkan persepsi "makna hidup" dalam pergaulan masyarakat.
Perjuangan seperti itu tidak hanya untuk menjawab pertanyaan konteks sosial dalam situasi yang sedang berlangsung, tapi lebih-lebih untuk transformasi kebudayaan yang memang dibutuhkan.
Sejalan dengan paham pendidikan seperti itu, saya ingin mengatakan bahwa "dialogis" sebagai moda komunikasi pendidikan pesantren merupakan alternatif yang paling mungkin dalam mengembangkan pendidikan pesantren yang intinya menumbuhkan iman dan takwa dalam kaitan membekali kekuatan spiritual santri menghadapi masa depan yang secara sosial akan terjadi perubahan yang mungkin sangat radikal.
Moda komunikasi pedagogis semacam ini lebih penting ketimbang mengandalkan tingkat penguasaan kitab kuning. Sebab, pendidikan Islam sebagai dialog pedagogis antara kiai dan santri harus bisa sama-sama masuk dalam dimensi kritis dan kreatif, dalam proses saling belajar dan dalam pengalaman dan latar belakang budaya yang sama-sama nyata sebagai kognitif subjek, yaitu: subjek yang tahu dan ingin sama-sama mengetahui.
Pendidikan kitab kuning, terutama di lingkungan pesantren, pada dasarnya berambisi menanamkan akhlak mulia. Karena orientasinya pembentukan kekuatan rohaniah yang simbolik, seharusnya pendidikan kitab kuning tak hanya diajarkan dalam satuan pengajaran yang hanya mencerminkan fragmentasi disiplin ilmu pengetahuan. Sebab yang lebih penting dari itu adalah, tujuan pendidikan pesantren perlu dibulatkan orientasinya dalam figur dan konfigurasi kepribadian. Dalam bahasa orang santrinya, orientasi ini biasa disebutsebagai gambaran muruah dari seorang: insan kamil.
Konsekuensinya berarti, dalam proses belajar kitab kuning, perhatian seharusnya ditekankan pada penuturan pribadi (the students' cultural repertoire). Dalam bilik pengajaran di pesantren, para santri harus diberi waktu menuturkan apa yang mereka lihat dan mereka dengar tentang hal-hal yang aktual berkaitan dengan pertanyaan moral.
Partisipatoris. Pendidikan pesantren yang menekankan pada konsumsi ilmu pengetahuan kitab pada dasarnya berangkat dari anggapan bahwa para santri harus mempunyai kosakata agama yang sama, yang harus dihafal, diingat, dengan kontrol bahwa "kebenaran" akan makna suatu kejadian dan tingkah laku sepenuhnya menjadi monopoli otoritas kiai.
Padahal, dalam kenyataan sehari-hari peristiwa aktual biasanya dituturkan dalam bahasa dan persepsi moral yang berbeda-beda, baik dalam lingkup pergaulan di antara para santri sendiri, di antara para ustad, maupun di antara lingkungan keluarga atau orang tua santri.
Oleh karena itu, tanpa memberikan kesempatan dialogis kepada para santri untuk memperbandingkan nuansa moral itu sebagai hak sosialisasi mereka, bisa jadi, setelah terjun ke masyarakat, mereka merasa dihadapkan pada pilihan moral yang dilematis, bukan sebaliknya, yang mestinya dapat menambah kekayaan wawasan moralitas hidup yang positif. Jika tidak memiliki pilihan moral, sudah tentu pilihan sikapnya hanya satu di antara dua: menyerah terhadap keadaan atau menarik diri secara puritan dari kenyataan yang seharusnya diselesaikan.
Orientasi perlunya menempatkan pendidikan pesantren untuk lebih memperhatikan pribadi dan kepribadian para santri, tidak hanya cukup dengan memberikan ruang penuturan, tapi juga perlunya mengangkat problematik keagamaan yang mereka miliki masing-masing. Masalah pribadi, yang seringkali bermuara pada masalah moralitas dan akhlak, tidak mungkin diselesaikan di kelas, tapi hanya bisa dikomunikasikan lewat konsultasi psikologis "keagamaan". Contoh, jika ada seorang santri mengalami rasa kehilangan figur orang tuanya sendiri, sementara kiai dan ustad selalu mengajarkan untuk hormat dan selalu mendoakan kedua orang tuanya setiap habis shalat, konflik kejiwaan seperti itu jelas membutuhkan ruang "penuturan" dan "pengungkapan".
Dari mana orientasi pengajaran pesantren yang dialogis, aktual, dan komunikatif bisa dilaksanakan? Saya kira, semua ini tidak mungkin tanpa tersedianya ustad dan kiai yang memiliki kemampuan menyelenggarakan pendidikan Islam yang partisipatoris. Yaitu, yang memiliki kekayaan model-model pedagogis yang memang komunikatif dan dedikatif. Seorang kiai atau ustad yang berjiwa guru dalam dirinya, bukan guru dalam pengertian alim yang hanya menguasai disiplin kitab kuning, tetapi tidak menguasai pembacaan realitas masyarakat.
Tipe "guru" seperti ini dituntut memiliki nuansa atau perspektif ke-tarbiyah-an yang tinggi, dalam arti harus memiliki bekal penguasaan psikologi pendidikan "agama" dan menjadi figur yang tingkah lakunya digugu dan ditiru (uswatun hasanah).
Orientasi Lapangan. Kritik saya yang lain berkaitan dengan pendidikan pesantren sekarang ini ialah tidak digunakannya orientasi lapangan sebagai bahan pengajaran kitab kuning. Dengan pengajaran kitab yang sarat pengetahuan dan bercorak normatif, para santri sangat sedikit memiliki perspektif agama (Islam) sebagai tantangan ijtihad sosial.
Saya ragu, apakah para santri yang lokasi pesantrennya tidak jauh dari pemukiman masyarakat kumuh, misalnya, mampu menghubungkan realitas sosial seperti itu dengan wacana kita kuning yang hanya dipelajari sebagai bahan penguasaan dan ke-alim-an. Belum lagi kalau kita berbicara tentang kekayaan seni Islam yang seharusnya menjadi kebanggaan mereka untuk dipahami, sehingga Islam yang normatif itu tidak terasa kering karena kurang nuansa humanities keislamannya.
Karena itu, pengajaran kitab kuning sudah waktunya dibuka dengan orientasi kemanusiaan yang lebih luas dan tidak hanya sekadar memasukkan perspektif modernitas, seolah-olah pesantren terbebani dengan dorongan perlunya "pencerahan" sehingga pesantren merasa harus beradaptasi dengan rasionalitas dan perkembangan sains dan teknologi.
Dengan menggunakan orientasi lapangan, para santri juga akan mengetahui secara langsung, bagaimana sering timpangnya antara anjuran agama yang ideal dan realitas yang sesungguhnya.
Dengan kunjungan lapangan secara langsung sudah tentu para santri bisa diajak berpikir mencari alternatif lain, bagaimana menemukan bentuk lain dalam menggali harta-harta agama dalam kehidupan masyarakat industri sekarang ini yang orientasinya bukan wakaf tanah melainkan, mungkin, bisa dikembangkan wakaf dalam bentuk lain. Dengan demikian, selain para santri sejak awal telah dirangsang berpikir kreatif dan tidak konsumtif dalam menerima pengajaran kitab kuning. Mereka sekaligus, dengan orientasi lapangan seperti itu, bisa mengetahui bagaimana hubungan kesalehan dengan konflik-konflik kepentingan sosial.
Soal menanamkan "kesalehan", misalnya, yang semata-mata hanya didasarkan pada penguasaan kitab kuning yang terbaca. Tanpa secara hermeneutik mengaitkan dengan penjelasan konteksnya yang aktual dan hanya memahami konteks sejarah "asbab an-nuzl"-nya, maka pengajaran "kesalehan" berarti lepas dari pembacaan realitas yang mengitarinya. Sehingga, soal kontemporer yang menjadi tantangan Islam yang nyata, bisa-bisa menjadi kabur dan tidak masuk sebagai kesadaran spiritual.
Semua ini karena tidak ada penjelasan sosiologis atau filsafat sosial yang bisa dipakai sebagai bahan memperkirakan tantangan-tantangan yang menghadang "kesalehan" itu dalam era sepuluh sampai lima belas tahun mendatang, tatkala para santri itu memperoleh tanggung jawab sosial. Yakni, dari kesadaran kitab kuning menjadi tanggung jawab kemasyarakatan.
Kalau kita hanya berulang-ulang menekankan tentang ayat: wa laa taqrobu az-zina tanpa mengajak diskusi dengan para santri, misalnya, soal gejala kumpul kebo, pembuangan bayi akibat aborsi tersembunyi, atau mengaitkan dengan gejala mut'ah di kalangan remaja yang tuntutan biologisnya keburu matang ketimbang selesai sekolahnya, barangkali soal "kesalehan" individu yang ditekankan secara preskriptif itu akan segera ambrol, tatkala mereka harus berhadapan dengan tuntutan-tuntutan hidup "manusiawi" yang sesungguhnya.
Jika pengajaran kitab kuning tidak disertai dengan pembacaan realitas sosialnya, saya ragu. Rasanya tidak mungkin, misalnya, mengajarkan tauhid sosial kepada para santri hanya melalui pengajaran tafsir konvensional tanpa disertai model pedagogis tafsir yang dapat memahami konstruk moralitas dan mengkonfrontasikannya dengan realitas di sekitarnya.
Menanamkan kesalehan sosial tanpa pemahaman konstruk sosial, akan menghasilkan calon kiai yang saleh tapi dalam dirinya tumbuh kerakusan hedonis tanpa batas. Ini sangat mungkin terjadi, apalagi jika benar bahwa sejarah umat manusia sebagian besar akan dibentuk oleh kesadaran gaya hidup ketimbang puritanisme agama.
Kesalehan Aktual. Masihkan agama akan berbicara soal-soal modernitas, jika ketimpangan dunia menampilkan gaya hidup sebagai tantangan kesalehan? Olehnya, tak mungkin pengajaran kesalehan bisa ditumbuhkan hanya dengan mengajarkan referensi kitab kuning. Sebab, komitmen dan kepekaan moral hanya bisa dibangkitkan dengan pembacaan realitas yang kritis. Hal ini berarti, bentuk kesalehan aktual baru bisa ditumbuhkan kalau ada pembacaan wahyu (kitab kuning) yang "memihak" dan analisis sosial yang juga "memihak".
Soal politik misalnya, kalau pesantren hanya mengajarkan fiqh siyasah tanpa pembacaan konstruk politik, tentu biarpun para santri menjadi alim tentang kitab al-Mawardi, namun tak mungkin mereka bisa mengaitkan bagaimana fiqh siyasah diwujudkan dalam aksi politik.
Karena itu, komitmen moral politik yang memihak pada keadilan dan sebagai bagian yang sangat penting dalam fiqh siyasah baru bisa diwujudkan jika para santri tak hanya memiliki kemampuan membaca konstruk politik aktual, tapi juga pengetahuan tentang gerakan-gerakan masyarakat yang mengarah pada terwujudnya keadilan tersebut.
Artinya, tak hanya fiqh siyasah yang harus dibaca dalam isu politik kontemporer, tapi juga para santri harus memiliki kemampuan bagaimana menggunakan agama sebagai kekuatan resistensi tatkala harus terjadi perebutan-perebutan kepentingan makna dalam sistem yang kooptatif terhadap legitimasi agama (Islam).
Dalam pergulatan politik sekarang, peran kritis agama tak hanya dalam alternatif pemikiran intelektualistis, tapi mampu melakukan pendampingan terhadap mereka yang secara politis dan sosial tak berdaya, ketika berhadapan dengan sistem yang korup dan menindas, yang juga menggunakan bahasa agama sebagai pembenaran.
Jika kiai mampu menempatkan dirinya sebagai pekerja kebudayaan dalam konteks seperti di atas dan menempatkan pesantren sebagai lembaga pendidikan politik dalam arti seluas-luasnya, maka inilah jenis ulama yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi di mana kerja kemanusiaan untuk me-"manusia"-kan manusia menjadi agenda penting bagi setiap orang yang mempunyai kepedulian spiritualitas, menghadapi ganasnya dunia hedonis yang mengeping-ngeping manusia dalam kesadaran materialistik, dan bukan lagi idealistik.

Penulis adalah pengamat sosial keagamaan. Tulisan ini diambil dari majalah Ummat, No. 30 Thn. III, 16 Februari 1998/19 Syawal 1418 H.

Sosial Benih Potensi Manusia

Nama : jk­_jejen koeswandi

Nim : 208400713

KPI/111/B

Sosial Benih Potensi Manusia

Gambaran mengenai manusia di gunakan sebagai landasan dan definisi oprasional sesuai dengan beberapa aspek yang ada pada kehidupan manusia.

Penyebutan nama manusia tidak satu macam dalam Al-Qur’an. Macam-macam istilah di gunakan untuk menunjukan berbagai aspek kehidupan manusia. Satu segi yang tidak terpisahkan dalam konteks pembicaraan tentang manusia. Itu semata-mata karena banyaknya kandungan mengenai esensi manusia sebagai makhluk sosial.

Ketika Al-Qur’an membicarakan aspek historis penciptaan manusia yaitu dengan menggunakan istilah “Bani Adam” (Al-A’raf : 31) pada saat itu pula keberadaan Adam membutuhkan Hawa. Itu menunjukan pertama kali manusia di ciptakan dan di lahirkan memerlukan orang lain dalam menampilkan perilaku sosial, sebagai sisi terpenting yang memberi tempat dan derajat kemanusiaannya. Akan tetapi sangat ironis jika manusia, dalam praktek sosialnya hanya sebatas komunikasi atau interaksi biasa, tanpa saling memberikan peranan yang berarti dalam kesejahteraan dan tarap kehidupannya. Oleh karena itu semakin manusia bersosial semakin banyak pula kebutuhan yang ingin mereka peroleh, semakin banyak kebutuhan semakin banyak pula orang yang menciptakan sehingga pada akhirnya banyak pula manusia yang produktif, kreatif, inopatif. Barang kali itu merupakan bentuk potensi manusia yang di dasari dengan sosial.

JK-jejen koeswandi

208400713

KPI/111/B

Bencana Bukan Takdir, Takdirnya Bukan Bencana

Bencana banjir yang terjadi di jakarta selama sepekan sejak 2 Februari 2007 melumpuhkan Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Air bah menggenangi ¾ wilayah Jakarta telah menyebabkan lebih dari 200 ribu jiwa terpaksa menyingkir dari rumah tingglnya. Banjir terbesar setelah tahun 2000 ini merusak dan memusnahkan aset-aset warga dan aset serta fasilitas publik. Tidak kurang dari 5 triliyun kerugian akibat banjir besar yang sebelumnya di tepis oleh pemda akan terjadi di tahun 2007. berbagai persiapanpun yang konon telah di siapkan menghadapi ancaman bencana, terbukti gagal besar luasnya banjir dan sejumlah korban di jadikan alasan pemda tidak mmampu menangani bencana tahun 2007.

Anehnya banjir kanal timur dijadikan alasan, mengapa jakarta banjir, padahal, dari analisis para ahli, banjir kanal timur hanya mampu mereduksi 24 % wilayah banjir tahunan jakarta. Menurut sejarah Banjir kanal yang di gagas sejak jaman hindia belanda memang di rancang hanya untuk 1 juta warga dengan ruang terbuka hijau dan daerah tangkapan air sebesar 60 % dan penduduk jakarta telah mencapai 7.515.286 jiwa yang tercatat secara resmi. Sedangkan angka sesungguhnya bisa mencapai 12 juta lebih, itulah kota jakarta yang kita kenal sebagai kota metropolitan.

Dengan keadaan seperti itu nampaknya banyak kebutuhan pokok yang terpenuhih, sperti pangan, air, pelayanan kesehatan dan hunian sementara, semua adalah hal yang umum bagi daerah yang sering terjadi bencana. Secara umum kalau di perhitungkan kewajiban memenuhi kebutuhan air bersih adalah 7 liter perhari perjiwa, silahkan saja perhitungkan kalau 7 liter perhari perjiwa sementara penduduknya 12 juta lebih sudah berapa ratus bahkan ribuan tengki yang di habiskan selama satu hari. Belum lagi untuk rung huni di perkirakan 3,5 M2 per jiwa, jamban 1 lubang luntuk 20 orang adalah standar minimum penangan pengungsi. Kewajiban masih di pahami sebagai bantuan atau dukungan, sehingga tidak harus memenuhi kebutuhan bahan dasar, sehingga tak heran warga mengalmi penderitaan berkepanjangan.

Terjadinya berbagai bencana di negri ini selalu menyisakan duka bagi rakyat. Meski banyak retorika di bangun untuk permasalahan ini, baik pada masa orde baru maupun masa reformasi,. Namut selalu tidak di barengi dengan tindakan dan kebijakan nyata. Peningkatan terjadi dari tahun ke tahun, bahkan sejak tahun 1988 sampai pertengahan tahun 2003 jumlah bencana di indonesia mencapai 647 bencana alam meliputi banjir, longsor, gempa bumi, dan angin topan dengan banyaknya memekan korban dan menghancurkan fasilitas-fasilitas yang ada.

Bencana struktural, bencana alam maupun bencana kemanusiaan terus terjadi. Dalam tahun 2002 tercatat bencana besaar terjadi. Fenomena banjir bandang dan tanah longsor adalah suatu fenomena alam yang jamak di muka bumi ini. Secara umum ketika sebuah sistem aliran sungai yang memiliki tingkat kemiringan sungai yang relatif tinggi apabila di bagian hulunya terjadi hujan yang cukup lebat, maka potensi terjadinya banjir bandang relatif tinggi. Tingkat kemiringan yang relatif curam ini dapat di katakan vsebagai faktor bakat atau bawaan, sedangkan curah hujan adalah salah satu pemicu saja.

Dengan demikia bahwa kita sebagai bangsa Indonesia tidak bisa lagi bangga dengan julukan zamru khatilistiwa, karena pada dasarnya adalah negri kita negri sejuta bencana

Dengan demikia pemda atau pemerintah harus melakukan beberapa tindakan yang dapat mengirangi penderiataan di antaranya

  1. Peta rawan dan komunitas rentan bencana dan mendesiminasikannya kepada seluruh masyarakat
  2. Menyoiapkan sdm untuk penanganan bencana
  3. Menyusun perencanan kedaruratan
  4. Memfasilitasi komunitas rentan bencana agar lebih siap menghadapi risiko dan dampak bencana
  5. Mengevaluasi seluruh kebijakan yang berpotensi meningkatkan kerentatan bencana

Jika ini tidak betul-betul di perhatikan maka lingungan hidup yang ada di negara indonesia tidak akan nyaman untuk di huni khususnya di wilayah jakarta. Sementara permasalahan linkungan hidup telah menjadi penyakit kronis yang di rasa sangat sulit untuk di pulihkan. Padahal permasalahan lingkungan hidup yang selama ini terjadi di Indonesia di sebabkan paradigma pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan faktor lingkungan yang di anggap sebagai penghambat. Posisi tersebut dapat menyebabkan terabaikanya pertimbangan-pertimbangan linkungan hidup di dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan. Akibatnya kualitas lingkungan makin hari semakin menurun, di tandai dengan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di berbagai wilayah indonesia.

Sampai hari ini belum terlihat upaya serius dari seluruh jajaran pemerintah dalam mengatasi permasalah tersebut. Dalam hal ini kasus-kasus pencemaran tidak terlihat adanya penegakan hukum bagi perusahaan pencemar. Lemahnya pemahaman aparat penegakan hukum seperti kepolisian dan pengadilan mengenai perundangan lingkungan hidup.

Beberapa prinsi yang perlu di terapkan oleh pemerintah dalam mewujudkan hak rakyat atas lingkungan bersih dan sehat adalah

§ Prinsip kehati-hatian dini

§ Perinsip persetujuan berdasarkan informasi yang menyeluruh

§ Prinsip pencemar membayar

§ Prinsip pendekatan holistik

Keputusan yang terkait dengan lingkungan. Selamatkan bumi dengan tanganmu !

Tak ada yang sepele dalam menyelamatkan lingkungan hidup. Sekecil apapun kontribusi kita, manfaatnya pasti di rasakan oleh semua banyak sekali yang dapat kita lakukan sehari-hari untuk meringankan beban bumi dan meningkatkan kualitas hidup bersama.

Panduan singkat ini adalah sambutan atas sejemput keinginan anda

Sebarkan informasinya di lingkungan warga di sekitar rumah dan sekolah, tentunya jangan lupa untuk terus mencari, mengembangkan dan menerapkan berbagai informasi mengenai penyelamatan lingkungan hidup di indonesia.

Sedikit aksi kurang banyak sampah!

1. Kurangi sampah bawa tas ,kain sendiri saat bebbelanja untuk menghindari menggunakan tas pelastik dan kertas

2. Hindari membeli dan memproduk dengan kemasan berlebihan

3. Gunakan kembali botol dan wadah kemasan untuk penyimpanan dari pada membeli baru

4. Jangan membuang barang yang masih di pakai, berikanlah pada orang yang masih membutuhkannya

5. Daur ulang, pilih sampah rumah tangga anda, sampah basah dapat di jadikan produk

6. Dorong pemerintah membuat kebijakan dan fasilitas pengelola sampah

Manusia sebagai wakil dari pada tuhannya, untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan lingkungan agar tidak tertimpa bencana

MASJID-MASJID BERSEJARAH

MASJID-MASJID BERSEJARAH

Masjid Agung Sunda Kelapa (1969)
Menteng, Jakarta Pusat

Meletusnya peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 ternyata banyak memberi pelajaran berharga. Sejak peristiwa menggemparkan itu, orang makin menyadari pentingnya agama. Banyak masyarakat di Ibukota merindukan kembali ke suasana kehidupan yang lebih Islami. Setidaknya itulah menurut pengamatan H.M. Kasasi, salah seorang pengurus harian Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, yang juga menjadi saksi atas berdirinya salah satu masjid bergengsi di Jakarta itu.

Terlebih masyarakat Menteng, menurut Kasasi, juga merasakan hal demikian. Daerah Menteng, siapa yang tak kenal daerah ini. Dahulu tempat ini adalah tempat paling bergengsi---sampai sekarang pun masih. Pejabat, penggede, pengusaha kaya, para jenderal banyak memilih tinggal didaerah ini. Tahun 1965, di beberapa lokasinya bahkan tercatat sebagai tempat paling berdarah menurut sejarah. Tujuh jenderal diculik dan tewas terbunuh.

Pencetus berdirinya Masjid Agung Sunda Kelapa, menurut Kasasi, adalah Alamsyah Ratu Prawiranegara yang ketika itu masih bertugas di Sekneg. Mewakili masyarakat Menteng, Alamsyah memandang daerah itu perlu memiliki sebuah masjid besar-ketika itu tidak ada satupun masjid berada di wilayah itu. Lalu di tahun 1966 sudah mulai terbentuk susunan kepanitiaan pembangunan masjid dengan ketuanya H.BR. Motik.

Di tahun yang sama rombongan panitia itu kemudian menemui Gubernur Ali Sadikin, setelah sebelumnya bertemu dengan Pangdam V Jaya, Jenderal Amir Mahmud dan Jenderal A.H. Nasution. Mereka menyampaikan keinginan agar gedung BAPPENAS bisa dialihkan menjadi bangunan masjid, Masjid Raya Menteng. Tapi ketika itu pemerintah dengan Kabinet Ampera-nya, ternyata masih membutuhkan gedung itu--sampai sekarang masih dipakai.

Kemudian kepada Ali Sadikin, panitia meminta izin agar lokasi Stadion Menteng atau lapangan Taman Sunda Kelapa dapat dijadikan sebagai lokasi masjid itu. Menyetujui permohonan itu, Ali Sadikin justru meminta panitia untuk memilih salah satunya. Tentu bisa ditebak, lapangan Taman Sunda Kelapa lah yang kemudian dipilih. Maka akhirnya pembangunan Masjid Sunda Kelapa pun dimulai, peletakan batu pertamanya dilakukan tepat pada tanggal 21 Desember 1969.

Sebagai masjid yang berada di lingkungan elit, tentunya pembangunan masjid juga diperhitungkan secara matang. Tercatat, Masjid Sunda Kelapa adalah masjid pertama di Jakarta yang menerapkan konsep baru tentang arsitektur masjid berkelas. Masjid inilah yang pertama kali memadukan konsep antara aktivitas ibadah, perekonomian dan pendidikan. Yang kemudian diikuti oleh masjid-masjid lain di Jakarta sampai sekarang. Aktivitas itu diakomodasi oleh keberadaan lantai yang berbeda. Lantai atas adalah sebagai pusat ibadah dan dakwah. Lantai bawah, digunakan sebagai aula/tempat resepsi (disewakan), perkantoran, perpustakaan, ruang rapat, pengislaman dan tempat berwudhu.

Secara umum gaya arsitektur yang diterapkan pada masjid ini tetap mengikuti gaya yang berkembang pada masa itu. Berciri modern, praktis dan sederhana dalam memilih bentuk pintu, jendela, maupun asesoris. Ini bisa dilihat dari bentuk bangunan yang lebih mengandalkan struktur beton pada pilar, list-plang, dan atap. Atau model lampu taman, undakan tangga maupun plaza di pintu masuk utamanya.

Sekarang kalau menyebut Sunda Kelapa sama artinya dengan gengsi. Masjid ini lebih dikenal karena banyak pasangan berduit memilih melansungkan acara resepsi di sana, disamping aktivitas remaja masjid-nya yang juga lumayan bagus. Tak heran masjid yang terletak di belakang (selatan) gedung BAPPENAS ini dianggap sebagai masjid kelas satu, selain Masjid Biru Pondok Indah. Anda ingin menengok masjid yang diresmikan oleh Ali Sadikin 31 Maret 1971 ini ? Ada dua alternatif yang bisa dipakai. Mau dari depan Hotel Indonesia, lalu menunggu bus di Jalan Imam Bonjol bisa. Dari perempatan Megaria pun mudah.n







Masjid Bersejarah

Indeks

Jami Al Atiq, Jaksel

Al Alam (Si Pitung), Jakut

Jami As Salafiyah, Jaktim

Jami An Nawier, Jakut

JamiAl Makmur, Jakpus

Al Mansur, Jakbar

Angke Al Anwar, Jakut

Jami Al Islam, Jakpus

Jami Al Barkah, Jaksel

Jami Matraman, Jakpus

Jami Al Makmur, Jakpus

Al Azhar, Jaksel

Istiqlal, Jakpus

Sunda Kelapa, Jakpus





UPDATE


Ponpes Al Islam, Tenggulun, Lamongan
Pondok dengan Aktivitas Sederhana


Zakat Bisa Dipakai Menambah Anggaran Pendidikan di Indonesia


Yayasan Ponpes Hidayatul Mukarramah
Bangun Sarana Pensos Terbesar di Kalimantan


Pondok Pesantren Modern Daar El-Istiqomah, Banten :
'Filial' Ponpes Gontor di Kota Serang


Warga Palestina di Rafah Ber-Idul Fitri dengan Kegetiran


60 % Pengguna E-mail di AS
Menghabiskan Waktu 15 Menit untuk Periksa Email


Arab Saudi Bantu Ponpes Islahuddini, Lombok Barat


Berziarah ke Negeri Leluhur Keturunan Arab Indonesia


Masjid Raya Mujahidin Laksanakan Shalat Ied Dua Kali


Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jatim :
Pesantren Wirausaha Pertama di Indonesia

FOTO FEATURE

MEKKAH BERKILAU --Ini adalah hasil pencitraan dari IKONOS Satelite milik Space Imaging Inc, AS. Masjidil Haram yang 'diintai' oleh AS pada 31 Oktober 1999 itu menampilkan fenomena menakjubkan. Terlihat di gambar hanya bagian Masjidil Haram saja yang berkilau sementara bangunan di sekitarnya tampak lebih gelap. Subhanallah. (NASA Astronomy Picture of The Day)




Tentang Pesantren.net · Redaksi · Kontak Kami · Info Iklan · Ketentuan Layanan
Copyright © 2001 Pesantren.net

Islam Seharusnya Berkembang Melalui Budaya

KOMPAS:Jumat, 21 Desember 2001, 19:43 WIB

Gus Dur: Islam Seharusnya Berkembang Melalui Budaya

Jakarta, Jumat


Mantan Presiden RI Abdurahman Wahid ketika membuka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Muslim Dunia menekankan perlunya Islam berkembang melalui budaya daripada melalui ideologi negara.

"Dalam negara demokratis, kita harus mengatakan Islam seharusnya
berkembang melalui budaya, bukan melalui ideologi negara," kata
Abdurahman saat membuka KTT tersebut di Hotel Marriott, Kuningan, Jakarta, Jumat (21/12).

Ia membuka KTT tersebut bersama Taj Hamad, Ketua Panitia
Perencana KTT Pemimpin Muslim Dunia dan Akbar Muhammad yang mewakili Louis Farrakhan dari Nation of Islam serta Chung Hwan Kwak, Ketua Federasi Internasional Antar Agama untuk Penyatuan dan Perdamaian Dunia.

Abdurahman yang biasa dipanggi Gus Dur itu mengatakan, di
Indonesia, ide mengenai negara Islam selalu ditolak meskipun
mayoritas atau hampir 90 persen bangsa Indonesia adalah Muslim.

Pada masa pendirian negara Indonesia, kata Gus Dur, Piagam Jakarta yang menyebut keharusan menjalankan syariah Islam bagi
pemeluknya, akan diberlakukan sebagai dasar negara. "Ketika itu, setiap orang yang ada setuju perlunya Piagam Jakarta dijadikan dasar negara dan diformulasikan dalam konstitusi, namun kelompok Kristen menentangnya karena itu berarti mereka menjadi warga kelas dua," katanya.

Maka pada 1959 diputuskan Piagam Jakarta tidak dapat dijadikan
dasar negara, 48 persen yang hadir akhirnya menolak ide dari Negara Islam, dan sejak itu, lanjut Gus Dur, ide itu selalu ditolak.

"Karena dalam negara demokrasi negara tidak punya hak memaksakan
persoalan pribadi, menjalankan syariah harus dilakukan oleh warga
dari komunitas, bukan warga negara, Islam berkembang melalui budaya, bukan ideologi," ucapnya.

Di Indonesia yang muslimnya dikenal moderat, dalam konteks pasca
tragedi 11 September, lanjut Gus Dur, orang menolak terorisme, namun banyak juga yang menganggap Osama Bin Laden adalah pahlawan.

KTT itu akan membicarakan tiga topik, agama dan spiritualitas
yang dipresentasikan oleh Presiden Forum Milenium Islam dari
Indonesia, Habib Chirzin, Shakyh Imam Hassan Cisse, Presiden
Institut Islam Afrika Amerika dari Senegal, Shakyh Ahmad Tigani Ben Omar, Imam Pusat Islam Universal dari USA dan Alwi Shihab, Ketua Umum PKB.

Topik lainnya adalah Tanggungjawab Warga Negara dalam Masyarakat
Politik yang akan disampaikan oleh Irawan Abidin, Ketua Komite Jasa konferensi dari Indonesia, Mohd Manzoor Alam, Direktur Institut Studi Objektif dari India, dan Hadi Nejad Hosseiman, Dubes Iran untuk PBB.

Topik mengenai Antar Agama dan Hubungan Internasional disampaikan oleh Rahmah binti Bujang, Direktur Akademi Studi
Malaysia, Mustansir Mir, Profesor Studi Agama dan Filsafat di USA, Nagasura Madale, Profesor dari Universitas Mindanao Filipina dan Imtiaz Ahmed Ali Yusuf, Kepala Jurusan Agama Assumption University dari Thailand. KTT bertema "Islam and a Future World of Peace" itu dihadiri 180 pemimpin muslim dari sekitar 50 negara.(Ant/nik)


Blogspot Template by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Home Interiors