Sabtu, 22 Mei 2010

Kiai Sebagai Pekerja Kebudayaan

http://islampembebasan.virtualave.net/Moeslim1.html

Kiai Sebagai Pekerja Kebudayaan

Oleh Moeslim Abdurrahman


Idealnya, pendidikan pesantren merupakan kerja kebudayaan. Artinya, tak identik dengan proses belajar-mengajar di sekolah. Sebagai kerja kebudayaan, pesantren mencakup semua ruang lingkup belajar yang lebih luas: bagaimana seorang santri mampu melakukan reproduksi kebudayaannya dalam proses zaman yang terus berubah.
Dalam perspektif pedagogis kritis, perkembangan manusia tidaklah uniform mengikuti atau identik dengan tingkat-tingkat pertumbuhan biologis. Sebab, dalam kenyataannya, perkembangan manusia lebih ditentukan oleh interaksinya dengan kondisi sosial dan kesadaran setiap individu yang selalu dibentuk, melalui bagaimana hubungan sosialnya dengan orang lain.
Hal ini berarti, kesadaran setiap manusia terletak pada posisinya sebagai agen sosial yang selalu secara konsisten melakukan perjuangan, bagaimana memenangkan persepsi "makna hidup" dalam pergaulan masyarakat.
Perjuangan seperti itu tidak hanya untuk menjawab pertanyaan konteks sosial dalam situasi yang sedang berlangsung, tapi lebih-lebih untuk transformasi kebudayaan yang memang dibutuhkan.
Sejalan dengan paham pendidikan seperti itu, saya ingin mengatakan bahwa "dialogis" sebagai moda komunikasi pendidikan pesantren merupakan alternatif yang paling mungkin dalam mengembangkan pendidikan pesantren yang intinya menumbuhkan iman dan takwa dalam kaitan membekali kekuatan spiritual santri menghadapi masa depan yang secara sosial akan terjadi perubahan yang mungkin sangat radikal.
Moda komunikasi pedagogis semacam ini lebih penting ketimbang mengandalkan tingkat penguasaan kitab kuning. Sebab, pendidikan Islam sebagai dialog pedagogis antara kiai dan santri harus bisa sama-sama masuk dalam dimensi kritis dan kreatif, dalam proses saling belajar dan dalam pengalaman dan latar belakang budaya yang sama-sama nyata sebagai kognitif subjek, yaitu: subjek yang tahu dan ingin sama-sama mengetahui.
Pendidikan kitab kuning, terutama di lingkungan pesantren, pada dasarnya berambisi menanamkan akhlak mulia. Karena orientasinya pembentukan kekuatan rohaniah yang simbolik, seharusnya pendidikan kitab kuning tak hanya diajarkan dalam satuan pengajaran yang hanya mencerminkan fragmentasi disiplin ilmu pengetahuan. Sebab yang lebih penting dari itu adalah, tujuan pendidikan pesantren perlu dibulatkan orientasinya dalam figur dan konfigurasi kepribadian. Dalam bahasa orang santrinya, orientasi ini biasa disebutsebagai gambaran muruah dari seorang: insan kamil.
Konsekuensinya berarti, dalam proses belajar kitab kuning, perhatian seharusnya ditekankan pada penuturan pribadi (the students' cultural repertoire). Dalam bilik pengajaran di pesantren, para santri harus diberi waktu menuturkan apa yang mereka lihat dan mereka dengar tentang hal-hal yang aktual berkaitan dengan pertanyaan moral.
Partisipatoris. Pendidikan pesantren yang menekankan pada konsumsi ilmu pengetahuan kitab pada dasarnya berangkat dari anggapan bahwa para santri harus mempunyai kosakata agama yang sama, yang harus dihafal, diingat, dengan kontrol bahwa "kebenaran" akan makna suatu kejadian dan tingkah laku sepenuhnya menjadi monopoli otoritas kiai.
Padahal, dalam kenyataan sehari-hari peristiwa aktual biasanya dituturkan dalam bahasa dan persepsi moral yang berbeda-beda, baik dalam lingkup pergaulan di antara para santri sendiri, di antara para ustad, maupun di antara lingkungan keluarga atau orang tua santri.
Oleh karena itu, tanpa memberikan kesempatan dialogis kepada para santri untuk memperbandingkan nuansa moral itu sebagai hak sosialisasi mereka, bisa jadi, setelah terjun ke masyarakat, mereka merasa dihadapkan pada pilihan moral yang dilematis, bukan sebaliknya, yang mestinya dapat menambah kekayaan wawasan moralitas hidup yang positif. Jika tidak memiliki pilihan moral, sudah tentu pilihan sikapnya hanya satu di antara dua: menyerah terhadap keadaan atau menarik diri secara puritan dari kenyataan yang seharusnya diselesaikan.
Orientasi perlunya menempatkan pendidikan pesantren untuk lebih memperhatikan pribadi dan kepribadian para santri, tidak hanya cukup dengan memberikan ruang penuturan, tapi juga perlunya mengangkat problematik keagamaan yang mereka miliki masing-masing. Masalah pribadi, yang seringkali bermuara pada masalah moralitas dan akhlak, tidak mungkin diselesaikan di kelas, tapi hanya bisa dikomunikasikan lewat konsultasi psikologis "keagamaan". Contoh, jika ada seorang santri mengalami rasa kehilangan figur orang tuanya sendiri, sementara kiai dan ustad selalu mengajarkan untuk hormat dan selalu mendoakan kedua orang tuanya setiap habis shalat, konflik kejiwaan seperti itu jelas membutuhkan ruang "penuturan" dan "pengungkapan".
Dari mana orientasi pengajaran pesantren yang dialogis, aktual, dan komunikatif bisa dilaksanakan? Saya kira, semua ini tidak mungkin tanpa tersedianya ustad dan kiai yang memiliki kemampuan menyelenggarakan pendidikan Islam yang partisipatoris. Yaitu, yang memiliki kekayaan model-model pedagogis yang memang komunikatif dan dedikatif. Seorang kiai atau ustad yang berjiwa guru dalam dirinya, bukan guru dalam pengertian alim yang hanya menguasai disiplin kitab kuning, tetapi tidak menguasai pembacaan realitas masyarakat.
Tipe "guru" seperti ini dituntut memiliki nuansa atau perspektif ke-tarbiyah-an yang tinggi, dalam arti harus memiliki bekal penguasaan psikologi pendidikan "agama" dan menjadi figur yang tingkah lakunya digugu dan ditiru (uswatun hasanah).
Orientasi Lapangan. Kritik saya yang lain berkaitan dengan pendidikan pesantren sekarang ini ialah tidak digunakannya orientasi lapangan sebagai bahan pengajaran kitab kuning. Dengan pengajaran kitab yang sarat pengetahuan dan bercorak normatif, para santri sangat sedikit memiliki perspektif agama (Islam) sebagai tantangan ijtihad sosial.
Saya ragu, apakah para santri yang lokasi pesantrennya tidak jauh dari pemukiman masyarakat kumuh, misalnya, mampu menghubungkan realitas sosial seperti itu dengan wacana kita kuning yang hanya dipelajari sebagai bahan penguasaan dan ke-alim-an. Belum lagi kalau kita berbicara tentang kekayaan seni Islam yang seharusnya menjadi kebanggaan mereka untuk dipahami, sehingga Islam yang normatif itu tidak terasa kering karena kurang nuansa humanities keislamannya.
Karena itu, pengajaran kitab kuning sudah waktunya dibuka dengan orientasi kemanusiaan yang lebih luas dan tidak hanya sekadar memasukkan perspektif modernitas, seolah-olah pesantren terbebani dengan dorongan perlunya "pencerahan" sehingga pesantren merasa harus beradaptasi dengan rasionalitas dan perkembangan sains dan teknologi.
Dengan menggunakan orientasi lapangan, para santri juga akan mengetahui secara langsung, bagaimana sering timpangnya antara anjuran agama yang ideal dan realitas yang sesungguhnya.
Dengan kunjungan lapangan secara langsung sudah tentu para santri bisa diajak berpikir mencari alternatif lain, bagaimana menemukan bentuk lain dalam menggali harta-harta agama dalam kehidupan masyarakat industri sekarang ini yang orientasinya bukan wakaf tanah melainkan, mungkin, bisa dikembangkan wakaf dalam bentuk lain. Dengan demikian, selain para santri sejak awal telah dirangsang berpikir kreatif dan tidak konsumtif dalam menerima pengajaran kitab kuning. Mereka sekaligus, dengan orientasi lapangan seperti itu, bisa mengetahui bagaimana hubungan kesalehan dengan konflik-konflik kepentingan sosial.
Soal menanamkan "kesalehan", misalnya, yang semata-mata hanya didasarkan pada penguasaan kitab kuning yang terbaca. Tanpa secara hermeneutik mengaitkan dengan penjelasan konteksnya yang aktual dan hanya memahami konteks sejarah "asbab an-nuzl"-nya, maka pengajaran "kesalehan" berarti lepas dari pembacaan realitas yang mengitarinya. Sehingga, soal kontemporer yang menjadi tantangan Islam yang nyata, bisa-bisa menjadi kabur dan tidak masuk sebagai kesadaran spiritual.
Semua ini karena tidak ada penjelasan sosiologis atau filsafat sosial yang bisa dipakai sebagai bahan memperkirakan tantangan-tantangan yang menghadang "kesalehan" itu dalam era sepuluh sampai lima belas tahun mendatang, tatkala para santri itu memperoleh tanggung jawab sosial. Yakni, dari kesadaran kitab kuning menjadi tanggung jawab kemasyarakatan.
Kalau kita hanya berulang-ulang menekankan tentang ayat: wa laa taqrobu az-zina tanpa mengajak diskusi dengan para santri, misalnya, soal gejala kumpul kebo, pembuangan bayi akibat aborsi tersembunyi, atau mengaitkan dengan gejala mut'ah di kalangan remaja yang tuntutan biologisnya keburu matang ketimbang selesai sekolahnya, barangkali soal "kesalehan" individu yang ditekankan secara preskriptif itu akan segera ambrol, tatkala mereka harus berhadapan dengan tuntutan-tuntutan hidup "manusiawi" yang sesungguhnya.
Jika pengajaran kitab kuning tidak disertai dengan pembacaan realitas sosialnya, saya ragu. Rasanya tidak mungkin, misalnya, mengajarkan tauhid sosial kepada para santri hanya melalui pengajaran tafsir konvensional tanpa disertai model pedagogis tafsir yang dapat memahami konstruk moralitas dan mengkonfrontasikannya dengan realitas di sekitarnya.
Menanamkan kesalehan sosial tanpa pemahaman konstruk sosial, akan menghasilkan calon kiai yang saleh tapi dalam dirinya tumbuh kerakusan hedonis tanpa batas. Ini sangat mungkin terjadi, apalagi jika benar bahwa sejarah umat manusia sebagian besar akan dibentuk oleh kesadaran gaya hidup ketimbang puritanisme agama.
Kesalehan Aktual. Masihkan agama akan berbicara soal-soal modernitas, jika ketimpangan dunia menampilkan gaya hidup sebagai tantangan kesalehan? Olehnya, tak mungkin pengajaran kesalehan bisa ditumbuhkan hanya dengan mengajarkan referensi kitab kuning. Sebab, komitmen dan kepekaan moral hanya bisa dibangkitkan dengan pembacaan realitas yang kritis. Hal ini berarti, bentuk kesalehan aktual baru bisa ditumbuhkan kalau ada pembacaan wahyu (kitab kuning) yang "memihak" dan analisis sosial yang juga "memihak".
Soal politik misalnya, kalau pesantren hanya mengajarkan fiqh siyasah tanpa pembacaan konstruk politik, tentu biarpun para santri menjadi alim tentang kitab al-Mawardi, namun tak mungkin mereka bisa mengaitkan bagaimana fiqh siyasah diwujudkan dalam aksi politik.
Karena itu, komitmen moral politik yang memihak pada keadilan dan sebagai bagian yang sangat penting dalam fiqh siyasah baru bisa diwujudkan jika para santri tak hanya memiliki kemampuan membaca konstruk politik aktual, tapi juga pengetahuan tentang gerakan-gerakan masyarakat yang mengarah pada terwujudnya keadilan tersebut.
Artinya, tak hanya fiqh siyasah yang harus dibaca dalam isu politik kontemporer, tapi juga para santri harus memiliki kemampuan bagaimana menggunakan agama sebagai kekuatan resistensi tatkala harus terjadi perebutan-perebutan kepentingan makna dalam sistem yang kooptatif terhadap legitimasi agama (Islam).
Dalam pergulatan politik sekarang, peran kritis agama tak hanya dalam alternatif pemikiran intelektualistis, tapi mampu melakukan pendampingan terhadap mereka yang secara politis dan sosial tak berdaya, ketika berhadapan dengan sistem yang korup dan menindas, yang juga menggunakan bahasa agama sebagai pembenaran.
Jika kiai mampu menempatkan dirinya sebagai pekerja kebudayaan dalam konteks seperti di atas dan menempatkan pesantren sebagai lembaga pendidikan politik dalam arti seluas-luasnya, maka inilah jenis ulama yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi di mana kerja kemanusiaan untuk me-"manusia"-kan manusia menjadi agenda penting bagi setiap orang yang mempunyai kepedulian spiritualitas, menghadapi ganasnya dunia hedonis yang mengeping-ngeping manusia dalam kesadaran materialistik, dan bukan lagi idealistik.

Penulis adalah pengamat sosial keagamaan. Tulisan ini diambil dari majalah Ummat, No. 30 Thn. III, 16 Februari 1998/19 Syawal 1418 H.

0 komentar:


Blogspot Template by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Home Interiors